You are currently viewing Pengembangan Karakter Kelas 4, 5 dan 6 (Edisi Kampung Naga)

Pengembangan Karakter Kelas 4, 5 dan 6 (Edisi Kampung Naga)

Singgah Budaya Kampung Naga SD Tanah Tingal

Pengembangan karakter SD Tanah Tingal  tahun 2016 dilaksanakan di kawasan Gn.Galunggung, Tasikmalaya.  Kegiatan ini diikuti oleh empat puluh orang anak dan tiga belas tim pendukung termasuk kepala sekolah, guru, staf dan keamanan.  Tahun ini kegiatan pengembangan karakter sedikit berbeda karena kami melakukan kegiatan singgah budaya terlebih dahulu di kampung Naga. Tulisan ini akan menyoroti kunjungan Kami ke Kampung Naga.

 

100_7420   IMG-20160921-WA0035   100_7350

 

 

Kami berangkat dari Sekolah Tanah Tingal pada hari rabu, tanggal 21 Mei 2016 pukul 06.00.  Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam dari sekolah, akhirnya kami tiba di kampung Naga. Tugu ucapan selamat datang dan patung kujang menyambut kami.  Kami tidak melewatkan tempat ini untuk berfoto bersama sebagai simbol kehadiran kami.  Setelah melakukan pelaporan kunjungan di pusat  informasi Kampung Naga, tiga orang pendamping wisata adat siap menemani Kami  untuk mengetahui lebih banyak tentang Kampung Naga.

Memasuki  wilayah kampung Naga, Siswa-siswi SD Tanah Tingal menuruni anak tangga sebanyak 439 anak tangga.  Tangga sejauh kurang lebih lima ratus meter dengan kemiringan sekitar empat puluh lima derajat dibuat berkelok-kelok.  Tampak dari tangga pemandangan lembahan yang asri terdiri dari rumah-rumah, kolam ikan, pesawahan terlihat  sangat indah dan terasa damai.  Sebagai antisipasi keamaan pengunjung, pendamping wisata adat meminta kami berjalan beringingan saat menuruni tangga untuk memungkinkan pengunjung lain atau penduduk yang naik ke atas.  O..ya banyak di antara pengunjung yang datang pada hari itu adalah turis mancanegara.  Wah, banyaknya orang Barat saja tertarik dengan budaya kita semakin menggelitik rasa ingin tahu kami untuk mengetahui lebih banyak tentang Kampung Naga.

 

100_7363 100_7365  100_7413 100_7346

 

Kampung Naga adalah sebuah kampung adat Sunda di wilayah kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya.  Kampung Naga terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan daerah Tasikmalaya dan Garut. Seperti kampung Baduy, kampung Naga juga memiliki wilayah luar kampung  yang lebih modern.  Kampung Naga sendiri hanya seluas 1,5 hektar, namun penduduknya sangat menjaga kelestarian kampung dan taat dengan ketentuan yang  berlaku.  Posisi Kampung Naga diapit oleh tebing dan sungai Ciwulan.  Di sebrang sungai terdapat hutan larangan atau disebut juga hutan keramat dimana di dalamnya terdapat makam leluhur para tokoh Kampung Naga.

Sungai Ciwulan atau dalam bahasa Indonesia disebut Kali wulan bermula dari mata air sungai Cikuray Garut.  Hujan yang terus berlangsung dalam beberapa hari terakhir membuat air sungai menjadi berwarna coklat.  Sungai Ciwulan beraliran deras dan berbelok melewati pinggiran Kampung Naga.  Tidak ada warga yang atau orang luar yang memanfaatkan area sungai untuk berperahu.  Pada ujung perbatasan kampung, tampak air sungai jatuh pada elevasi yang sama, seperti dibuatkan pintu air dimana debit air bisa dikendalikan untuk pemanfaatan lain.   Penduduk Kampung Naga membuat beberapa tembok penahan air pada beberapa titik sungai untuk menahan proses erosi pinggiran sungai.  Kami lihat tembok-tembok penahan ini digunakan juga oleh beberapa penduduk sebagai tempat untuk memancing ikan.

Tampaknya penduduk kampung Naga sangat mengoptimalkan hasil alam yang ada di desa.  Ada beberapa penduduk juga yang membuat kolam untuk membudidayakan ikan.  Di atas kolam terlihat beberapa jamban yang difungsikan untuk membuang hajat penduduk sekaligus dimanfaatkan sebagai sumber makanan tambahan bagi ikan yang dipelihara.  He he he ini bukan berarti ikan yang dipelihara itu menjadi jorok ya, tapi dengan sistem yang ada di alam dan fisiologis tubuh ikan itu sendiri,  apa yang terbuang menjadi bermanfaat.  Ikan-ikan di Kampung Naga dipelihara dengan sistem konvensional namun benih yang di tanam merupakan benih unggul.  Kelebihan sistem konvensional  adalah ikan-ikan dapat tumbuh alami dan lebih tahan terhadap penyakit.

100_7358  100_7356  100_7355  100_7352   100_7353

Saat Kami menanyakan apakah hasil bumi mereka dijual kepada orang lain, ternyata mereka lebih suka memakan sendiri hasil bumi yang mereka peroleh.  Kelebihan bahan makanan seperti padi akan disimpan dalam lumbung padi.  Dan jika masih ada hasil berlebih lagi, barulah mereka akan jual.  Mereka mengistilahkan hal ini dengan sebutan “sesa seubeuh”.

Kampung Naga dengan luas 1,5 hektar saat ini memiliki jumlah Kepala Keluarga sebanyak 101 Kepala Keluarga dan jumlah  warga sebanyak 314 orang.  Dengan kepadatan rumah yang sudah ada dalam areal 1,5 hektar, tentu sudah sangat sulit untuk membangun rumah baru.  Di Kampung Naga sendiri, tidak membatasi jumlah warga, namun beberapa warga yang ingin memiliki rumah sendiri akan berpindah ke luar kampung Naga. Itu bukan berarti mereka yang berpindah ke luar kampung dianggap memiliki ketidakdisiplinan atau tidak setia terhadap ketentuan adat yang berlaku, namun mereka tetap berrkomitmen dan menghargai adat di Kampung Naga.  Pada kegiatan atau perayaan tertentu, mereka yang berada di luar Kampung Naga akan hadir atau diundang untuk datang.  Kampung Naga sendiri tidak antipati terhadap pihak luar di luar, namun mereka tetap kokoh mempertahankan adatnya. Di Kampung Naga masih kokoh memegang tradisi gotong royong.  Gotong royong juga berlaku saat pembangunan rumah atau perbaikan rumah.

Penduduk kampung Naga memiliki satu masjid besar yang terletak di tengah pemukiman penduduk.  Mereka juga memiliki balai warga yang dimanfaatkan untuk pertemuan terletak bersebelahan dengan masjid.  Mereka menyebut balai pertemuan dengan istilah Bumi Ageung.  Penduduk Kampung Naga tidak ada yang memiliki toilet atau kamar Mandi di rumahnya.  Semua orang harus berjalan kakus kakus umum jika ingin mandi atau mencuci.  Kakus umum terletak di tanah luar adat.  Begitu pula dengan kandang ternak dan kolam ikan diletakkan jauh dari pemukiman penduduk.

Rumah-rumah di Kampung Naga memiiki bentuk yang serupa dan berjajar rapi pada satu area.  Rumah menghadap ke arah utara atau selatan dengan memanjang kearah Timur atau Barat.  Rumah di kampung adat memiliki ketentuan yaitu harus pangung dari bahan bambu dan kayu.  Atap rumah ijuk, dinding berupa bilik yang dianyam.  Ijuk dapat meredam panas di siang hari dan menimbulkan rasa sejuk pada malam hari.  Rumah tidak boleh di cat, namun dilapisi dengan kapur sehingga warna dinding rumah di Kampung Naga adalah putih.  Setiap rumah memiliki dua pintu yang berbeda, satu berfungsi sebagai dapur dan satu yang lain sebagai ruang tamu.  Pada bagian pintu rumah terdapat semacam ketupat atau rangkaian daun yang disusun rapih.  Rangkaian daun tersebut terlihat mengering merupakan sisa-sisa perayaaan adat di Kampung Naga.  Mereka tidak pernah melepas rangkaian daun tersebut namun selalu menambahkannya seusai perayaan adat selesai.

Pada ruangan dapur, ada semacam ruangan yang disebut goa.  Ruangan ini adalah ruangan khusus perempuan dan tidak boleh dimasuki lelaki sekalipun kepala keuarga dari rumah tersebut.  Di dalam goa, perempuan menyiapkan menu yang akan disajikan untuk keluarga.  Penduduk di kampung Naga memasak dengan tungku.  Alat masak yang hampir dimiliki oleh sebagian besar penduduk kampung Naga adalah seeng.   Seeng merupakan panci setinggi lima puluh senti meter dengan bentuk unik.  Pada bagian 1/3 tinggi seeng, ada bagian yang menyempit seperti leher.  Pada bagian ini ada alat masak tambahan disebut haseupan.  Haseupan digunakan untuk menanak nasi, sedangkan air yang ada di dalam seeng bisa digunakan untuk membuat air minum atau kopi.  He he he …. alat masaknya sangat produktif ya.  Kalau kita bandingkan dengan alat masak yang kita miliki di rumah kita, seeng dan haseupan itu fungsinya hampir sama dengan kukusan.

Diatas tungku, terdapat jamur berwarna coklat kehitaman digantung menggunakan tali.  Jamur bersifat awet dan mempunyai khasiat sebagai obat merupakan ramuan leluhur.  Jamur dimanfaatkan sebagai obat sakit perut,  caranya jamur disentil sampai mengeluarkan debu, debu jamur itu dioleskan ke bagian perut.  Tapi bukan berarti di Kampung Naga tidak mengenal mantri atau bidan loh.  Penduduk kampung Naga mengikuti program pemerintah khususnya penanganan ibu hamil yang melahirkan dibantu dengan bidan.  Mereka akan mendatangi bidan di luar kampung dan saat melahirkan namun tetap didampingi dukun bersalin atau paraji. Bidan membantu persalinan hanya sebatas proses melahirkan sedangkan paraji membantu persalinan sampai dengan empat puluh hari.

Berbicara  tentang pemerintah, penduduk Kampung Naga menerima subsidi pemerintah berupa minyak tanah dengan harga sebesar Rp 4.000,00 per liter.  Jika membeli minyak tanah diluar harga yang berlaku adalah Rp 15.000 per liter.  Dengan demikian mereka sangat terbantu dengan adanya subsidi tersebut.  Pemerintah mensubsidi  minyak tanah sebanyak lima ratus liter setiap tiga bulan.  Oiya penduduk Kampung Naga tidak memiliki fasilitas listrik, mereka menggunakan lampu tempel sebagai sumber penerangan.  Sebenarnya pemerintah pernah menawarkan pemasangan instalasi listrik di Kampung Naga, namun para penduduk menolaknya.

Menurut pendamping wisata Kami, Kampung Naga memiliki dua lembaga pemerintahan yaitu pemerintahan pada umumnya dan lembaga adat.  Lembaga pemerintahan umum terdiri dari RT, RW seperti lembaga pemerintahan yang kita miliki.  Sedangkan lembaga adat terdiri dari kuncen, lebe, dan punduh.  Lebe akan menangani hal-hal yang berbau keagamaan di kampung seperti pengurusan  warga yang meninggal, sedangkan punduh bertugas mengayomi masyarakat.

Penduduk Kampung Naga beragama Islam namun dipengaruhi kuat oleh beberapa tradisi kepercayaan.  Pada kegiatan upacara adat dilakukan shalawatan dengan diiringi alat musik terbang sejak.  Alat musik terbang sejak adalah alat musik semacam rebana dengan berbagai ukuran.  Pada saat dimainkan, tali pada bagian dalam rebana dikencangkan terlebih dahulu agar pemantulan suara yang dihasilkan baik.  Bahan rebana adalah kulit kambing yang sudah dikeringkan.  Pada acara keagamaan, alat musik yang dimainkan adalah terbang gentung.  Alat ini serupa dengan terbang sejak namun ukurannya lebih besar.  Selain dua alat musik tersebut, Kampung Naga memiliki alat musil angklung.  Angklung biasanya dimainkan saat kegiatan sunatan masal.

Semua alat musik diproduksi sendiri oleh warga.  Mata pencaharian warga selain bercocok tanam, ternak, dan budiday ikan juga sebagai pengrajin.  Kerajinan tidak hanya berupa alat musik saja, namun juga alat rumah tangga, perlengkapan masak, berbagai perkakas kerajinan, juga mainan tradisional dan hiasan yang berbahan dasar kayu dan bambu.  Kemarin siswa-siswi TanahTingal sanagt tertarik dengan berbagai hiasan dari bamboo yang dijual di Kampung Naga.  Beberapa alat music tradisional juga dijual seperti suling tau karinding. Karinding adalah alat musik  tradisional yang ukurannya kecil sehingga mudah dibawa.  Karinding yang banyak digunakan perempuan, bahannya berasal dari bambu dan bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut.  Sedangkan karinding  yang dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bahan yang digunakan adalah enau.  Bentuk karinding ada tiga ruas, dimainkan dengan cara ditepuk bagian pemukulnmya sampai tercipta resonansi suara.

Wah, banyak sekali yang menarik dari Kampung Naga.  Satu kunjungan dengan durasi dua jam rasanya tidak memuaskan kami untuk mengetahui budaya Kampung Naga.  Jika adik-adik punya waktu, sepertinya program menginap (live in) bisa dijadikan salah satu alternatif  liburan yang menarik.

IMG-20160921-WA0024 IMG-20160921-WA0019 IMG-20160921-WA0025  IMG-20160921-WA0022

 

(Tulisan dibuat oleh Ida Febriyanti, 26 September 2016).